Ini bukan sekadar cerita biasa. Ini sekelumit kisah yang sengaja kuabadikan di blog pribadi. Entah kenapa, aku merasa perlu menuliskannya sebagai alarm pengingat diri, sebuah prasasti kecil dalam catatan perjalanan kami. Sampai memasuki usia pernikahan yang hampir delapan tahun ini, aku masih ingat betul insiden ngambek di awal-awal pernikahan kami. Ngambeknya sampai tiga hari penuh, lho! (Hehe).
Momen itu sungguh tak terlupakan, apalagi terjadi di masa-masa awal biduk rumah tangga. Waktu itu, ekspektasi tentang pernikahan sedang di puncaknya, bagai menara gading yang menjulang tinggi di angan kami berdua. Aku yakin, banyak pasangan pra-nikah juga merasakan hal serupa, merangkai asa di ufuk pelaminan yang indah. Namun, ternyata di tahun pertama itu, ujian-ujian kecil sudah mulai menampakkan diri, bagai riak-riak gelombang yang menyapa perahu. Salah satunya adalah kenyataan pahit bahwa tidak melulu apa yang kita inginkan akan selalu sesuai, karena hidup bukan sekadar matematika ekspektasi yang lurus. Dalam keluarga, setiap detik adalah momen yang dinamis, berputar dan berubah, memengaruhi banyak hal, termasuk ketidakpastian ekspektasi yang kita impikan. Benar kata orang tua, pelajaran berharga dalam keluarga ada pada usia pernikahan pertama, saat masing-masing memunculkan wujud aslinya yang tak diketahui sebelumnya. Ibarat pohon, akar-akarnya mulai menunjukkan diri, bukan hanya daun dan bunga yang tampak indah semata.
Suatu ketika, aku pernah ngambek sama istriku. Perkaranya sepele sekali, seperti remah-remah di bawah karpet, tapi entah kenapa rasanya begitu besar di hati, mengganjal seperti duri yang tajam. Aku ini memang tipe yang kadang cuma butuh di-"iya"-kan, apalagi kalau lagi mood kurang oke atau sedang banyak pikiran. Bukan berarti anti debat, ya. Tapi ada momen di mana aku cuma ingin istriku mengangguk setuju, biar hatiku adem, sejuk seperti embun pagi yang menenangkan. Nah, waktu itu situasinya pas banget: aku lagi pengin di-"iya"-in, tapi malah berakhir jadi adu argumen, bagai pedang yang saling beradu tanpa henti.
Ya sudahlah, namanya juga suami, ujung-ujungnya ngambek. Awalnya kupikir ini ngambek kecil yang menggemaskan, yang nanti juga istriku akan menghampiri sambil bertanya, "Kamu ngambek kenapa, sih?" Di situlah plan-ku: melancarkan segala argumen, segala unek-unek, dengan tujuan mulia—memperbaiki diri masing-masing, dan tentu saja, memenuhi tuntutan sang suami budiman ini. Hehehe.
Tapi, hidup memang tak selalu sesuai rencana, bro. Jalan tak selalu lurus mulus. Ternyata, istriku juga sedang dalam mode bad mood parah. Pekerjaan kantornya lagi menumpuk, deadline di mana-mana, stress tingkat dewa. Jadi, dia benar-benar tak punya energi untuk meladeni ngambekku yang, kalau dipikir-pikir lagi, memang agak kekanak-kanakan, bagai rengekan anak kecil yang tak kunjung berhenti.
Dan begitulah, drama ngambek ini pun berlanjut. Hari pertama, hari kedua, hingga hari ketiga. Aku bertahan dengan egoku, merasa bahwa aku ini sedang ngambek dan perlu validasi, seolah egoku adalah benteng yang tak tergoyahkan. Istriku? Dia pura-pura cuek, sibuk dengan dunianya, atau mungkin memang lagi tidak kuat meladeniku. Rumah terasa dingin, padahal AC mati. Suasana jadi tegang, seperti senar gitar yang ditarik kencang, siap putus kapan saja. Kami sama-sama menahan diri, siapa yang akan mengalah duluan dalam pertarungan sunyi itu.
Sampai akhirnya, aku sendiri yang tak tahan. Jujur, rasanya tidak enak ngambek berlama-lama, seperti memikul beban tak terlihat yang kian memberat. Apalagi melihat istriku juga jadi ikut murung, walaupun dia berusaha menyembunyikannya dengan senyum tipis yang hambar. Puncaknya, di hari ketiga itu, aku memberanikan diri. Dengan suara agak pelan dan perasaan campur aduk, seperti adukan pasir dan kerikil yang tak beraturan, aku bilang, "Maaf, aku salah."
Boom!
Reaksiku selanjutnya? Kaget luar biasa. Istriku yang tadinya tegar, tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Tangisan yang pecah, tangisan yang selama ini dia tahan seorang diri, mengalir deras membasahi pipinya, memecah kesunyian yang dingin. Aku terdiam, bingung, sekaligus merasa bersalah luar biasa. Ternyata, dia juga menyimpan banyak hal, tumpukan kekhawatiran dan keresahan yang tak terucap. Bahan introspeksi diri yang selama ini dia pikirkan, tapi tidak berani dia utarakan. Dia takut, takut kalau aku makin ngambek karena merasa diabaikan terlalu lama. Ternyata selama ini dia juga kepikiran, dia juga merasa tidak enak, tapi takut mau memulai perdamaian karena takut aku justru makin ilfeel, menjauh dan hilang dari sisinya.
Malam itu, tak ada lagi drama ngambek. Yang ada cuma kami berdua, saling menatap dalam mata yang berkaca-kaca, memantulkan bayangan penyesalan dan harapan. Kami saling introspeksi, saling menceritakan apa yang ada di hati dan pikiran masing-masing, seolah membuka jendela jiwa. Kami memperbaiki, menyepakati bagaimana caranya agar situasi seperti ini tidak terulang lagi di kemudian hari. Ternyata, yang kubutuhkan adalah di-"iya"-kan, dan yang dia butuhkan adalah ruang dan pengertian. Sederhana, namun seringkali luput dari perhatian, tersembunyi di balik riuhnya ego.
Alhamdulillah, sejak hari itu kami sudah tidak lagi ngambek dan berantem besar, badai itu perlahan reda, meninggalkan jejak kedamaian. Memang benar kata orang tua, pelajaran berharga dalam keluarga ada pada usia pernikahan pertama, saat masing-masing memunculkan wujud aslinya yang tak diketahui sebelumnya. Benar juga kata ibuku, bukan pasangan kita yang berubah atau tidak sesuai ekspektasi, tapi segala kelemahan dan kekurangan yang mulai nampak terlihat, bagai bayangan yang perlahan muncul seiring berjalannya waktu.
Dan saatnya tiba, cinta diuji dalam kuali kehidupan, menghadapi panasnya gesekan dan dinginnya perbedaan. Di sinilah kebesaran hati adalah kunci menghadapinya, sebuah kompas yang menuntun kita melewati badai. Asal jangan sampai badai itu menenggelamkan bahtera yang telah kita bangun dengan cinta dan janji. Ingatlah, bahwa setelah badai pasti ada pelangi, jika kita mampu berlayar dengan cinta, pengertian, dan keikhlasan.
Adakah pelajaran berharga yang juga kamu petik dari awal-awal perjalanan rumah tanggamu?