Selamat Ulang Tahun Istriku


Hai, sayangku. Aku menulis surat ini tepat di pergantian tahun yang menggenapkan usiamu yang ke-33. Tengah malam ini, aku memulainya—entah akan kuselesaikan di menit keberapa—karena kata-kata ini mengalir begitu saja di depan laptop, di teras rumah kita. Kau sedang tertidur lelap di dalam, memeluk anak kita, Era-Revolusi. Sebelum menulis, kupandangi wajahmu dari balik jendela. Begitu anggun kau terlelap, hingga aku tak sampai hati mengganggumu dengan ucapan lisan di jam istirahatmu.

Baiklah, kubiar kata-kata ini tertuang di sini. Mungkin akan kusimpan di blog pribadi, atau di galeri media sosial—Lemon8, mungkin—sebagai pengingat untuk masa depan. Karena kau tahu, aku suka menulis. Dan malam ini, yang kutulis adalah tentangmu. 


Di hari ulang tahunmu ini, di saat langit seakan tersenyum memayungi keberadaanmu, aku berdiri di antara ribuan rasa: syukur, haru, dan cinta yang tak terhingga. Tak ada kata yang cukup indah, tak ada kalimat yang cukup dalam, untuk menggambarkan betapa berartinya engkau dalam hidupku.

Istriku, kau tahu, ada begitu banyak momen di mana aku hampir hilang. Kehilangan arah dan tujuan. Aku terjatuh, terpecah, dan nyaris tak mengenali diriku sendiri. Aku seperti kapal yang karam di tengah samudra kebimbangan, tak tahu ke mana harus berlabuh. Berkali-kali aku bertanya: Siapa aku? Apa arti semua ini? Dan berkali-kali pula, engkau datang dengan tanganmu yang lembut, menyatukan kembali serpihan-serpihan jiwaku yang berserakan. Kau peluk aku erat, kau bisikkan ke telingaku bahwa aku lebih dari sekadar bayang-bayang yang kacau. Kau tunjukkan padaku bahwa keberadaanku berarti—bahwa Mansyur yang rapuh ini layak untuk berdiri, untuk bernapas, untuk mencintaimu sepenuh hati. Seyakin itu kamu padaku, hingga aku ragu: apakah kau manusia, atau jelmaan peri yang diutus Tuhan untuk menyelamatkanku?

Aku ingat betul betapa seringnya aku berlaku seperti anak kecil yang tak pernah puas. Di awal perjalanan kita, aku menuntut, merajuk, seolah dunia harus berpihak padaku sepenuhnya. Egoku setinggi langit. Tapi engkau, dengan kasih sayangmu yang tak terbatas, tak pernah menjadikannya alasan untuk menjauh. Malah, kau mengajariku arti cinta yang sesungguhnya—cinta yang tak hanya menerima, tetapi juga membentuk. Kau jadikan aku pribadi yang lebih bijak, yang lebih pantas menyandang gelar suamimu. Kau gadaikan kepercayaanmu pada seorang Mansyur yang bahkan tak yakin dengan dirinya sendiri. Kau pilih aku, di antara semua lelaki yang mungkin lebih layak. Padahal, dalam benakku, akulah yang seharusnya kau tinggalkan dulu.

Istriku, hidup bersamamu adalah anugerah terbesar yang tak pernah kuduga. Kau beri aku rumah—bukan hanya atap dan dinding (meski tentu ini bukan sekadar rumah fisik), tapi tempat di mana jiwaku bisa pulang. Harus pulang. Kau beri aku kekuatan di saat aku lemah, tawa di saat aku hancur, dan cahaya di saat gelap begitu pekat. Kau adalah jawaban dari semua doa yang tak sempat kuucapkan.

Di hari ulang tahunmu ini, izinkan aku mengucapkan terima kasih dengan seluruh sisa hidupku. Terima kasih karena telah bertahan dengan segala kekuranganku. Terima kasih karena tak pernah menyerah, meski mungkin aku telah memberimu kesakitan dan kekecewaan. Terima kasih karena mencintaiku dengan cara yang tak semua orang mampu—cinta yang tulus, sabar, dan tanpa syarat.

Sekali lagi, selamat ulang tahun, sayangku. Semoga Allah memberkatimu dengan umur yang panjang, kesehatan yang baik, dan kebahagiaan yang tak pernah kering. Aku berdoa, di sisa hidupku nanti, aku bisa menjadi suami yang lebih baik—yang layak berdiri di sampingmu, mencintaimu dengan cara yang kau pantas dapatkan.

Dan seandainya Tuhan memberiku kehidupan yang berulang-ulang, aku tetap ingin jadi suamimu. Hanya ingin beristri Umi Rojiati. Semoga engkau pun begitu.

Dengan cinta yang tak terukur,
M.Mansyur