Opini dan diary : Memaknai "Cita-cita" sebagai realitas hidup

Tulisan ini lahir bukan untuk menyangkal syukur, melainkan justru untuk mensyukuri apa yang sudah terjadi hingga hari ini. Ini adalah sebuah kajian pribadi saya dalam mencari makna: apa arti sebenarnya dari sebuah "cita-cita"? Apa bedanya dengan "hasrat hidup" dengan "realitas", dengan entah apalagi istilahnya..

Saya mencoba merekonstruksi ulang cita-cita yang dulu saya tekadkan dalam hati—apa sebenarnya maknanya? Kenapa jalan hidup saya saat ini keluar dari cita-cita dulu, tapi bisa sebahagia ini? Apa benar menjadi dosen itu adalah cita-cita saya, atau hanya sekadar hasrat? Saya mencoba terus menelusuri, dari uraian fakta realitas sampai pada kajian ilmiahnya. Berikut hasil penelusuran saya dengan narasi singkat dan sederhana.

____________________________________

Hai, saya M.Mansyur - sejak usia 21 tahun, saya memutuskan secara mutlak: saya ingin menjadi dosen. Keputusan itu lahir setelah bertahun-tahun berganti-ganti jawaban setiap kali orang bertanya, "Cita-citamu apa?" Dokter, arsitek, pengusaha—semuanya pernah singgah di bibir saya. Tapi di usia 21 (saat itu), saya menemukan jawaban yang terasa final: dosen.

Sejak saat itu, segala bentuk syarat coba saya penuhi. Melanjutkan ke jenjang master, menulis publikasi ilmiah, penelitian, mengikuti berbagai konferensi—semuanya saya jalani dengan penuh keyakinan. Dan Allah mentakdirkan saya menjadi dosen, walau hanya setahun. setahun. 

Namun, hari ini saya berdiri di tempat yang berbeda. Hari ini - saya telah diangkat menjadi ASN non pendidikan. Alhamdulillah. Tanpa mengurangi rasa hormat pada negara, saya akui saya bahagia dengan pencapaian ini. Hampir tujuh tahun saya menjalani profesionalitas kerja hingga puncaknya diangkat menjadi ASN. Saya sangat puas dan cinta sekali dengan pekerjaan ini. Bahkan saat ini, saya bergumul dengan lingkaran orang-orang hebat yang terus menginspirasi.

Apakah cita-cita itu sekadar keinginan kuat dalam hati? Atau justru ketika apa yang kita jalani berguna bagi orang sekitar—terutama secara material?

Antara Idealisme dan Pragmatisme

Psikolog Abraham Maslow dalam hierarki kebutuhannya mengingatkan kita bahwa manusia tidak bisa mencapai aktualisasi diri—puncak dari pemenuhan potensi—jika kebutuhan dasar seperti makanan, keamanan, dan rasa memiliki belum terpenuhi. Dalam konteks ini, memilih pekerjaan yang menjamin kecukupan hidup bukanlah pengkhianatan terhadap cita-cita, melainkan bentuk kebijaksanaan dalam memahami realitas.

Yes, kebutuhan dan kecukupan hidup harus dipenuhi. Tuntutan karir dan dapur tetap harus mengepul. Bukan berarti pekerjaan di dunia pendidikan itu "minim" secara finansial—sama sekali bukan itu maksud saya. Namun dalam kasus saya, kecukupan materi lebih dulu menemukan saya di jalur non pendidikan. Realitas itu, entah bagaimana, membawa saya meninggalkan mimpi yang pernah begitu saya yakini. Mungkin ini salah satu faktor jembatan saya keluar dari "cita-cita" awal. Tuntutan hidup bertemu dengan peluang. yes.

Pengertuan lain, Viktor Frankl, seorang psikiater dan penyintas holocaust, dalam bukunya Man's Search for Meaning, menawarkan perspektif yang menenangkan: makna hidup tidak terletak pada pencapaian satu tujuan tertentu, melainkan pada bagaimana kita merespons keadaan yang kita hadapi. Ia menulis, "Ketika kita tidak lagi mampu mengubah situasi, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri."

Mungkin, cita-cita bukanlah tentang destinasi yang harus dicapai dengan cara yang kita bayangkan. Mungkin, ia tentang nilai-nilai yang ingin kita wujudkan—apapun caranya.

Menemukan Esensi 

Jika saya merenungkan lebih dalam, apa sebenarnya yang membuat saya jatuh cinta pada gagasan menjadi dosen? Bukan sekadar gelarnya, tapi mungkin keinginan untuk berbagi ilmu, menginspirasi orang lain, atau berkontribusi pada perkembangan pengetahuan. Dan bukankah nilai-nilai itu masih bisa saya wujudkan di posisi saya sekarang? Dalam setiap kebijakan yang saya buat, dalam setiap interaksi dengan rekan kerja, dalam setiap agenda yang saya tangani—saya masih bisa menjadi pendidik dalam arti yang lebih luas.

Rumi, penyair sufi abad ke-13, pernah berkata: "Let yourself be silently drawn by the strange pull of what you really love. It will not lead you astray." Mungkin apa yang benar-benar saya cintai bukanlah profesi dosen itu sendiri, melainkan esensi dari apa yang ingin saya berikan kepada dunia.

Sebuah Penutup yang Masih Terbuka

Saya tidak berpura-pura telah menemukan jawaban. Mungkin pencarian ini akan terus berlangsung—dan mungkin memang seharusnya begitu. Karena dalam pencarian itu sendiri, kita tumbuh. Dalam ketidakpastian itu, kita belajar untuk fleksibel tanpa kehilangan jati diri.

Yang saya tahu hari ini: cita-cita bukanlah penjara. Ia bukan kontrak mutlak yang harus dipenuhi dengan satu cara saja. Cita-cita adalah kompas, bukan peta. Ia menunjukkan arah, tapi jalur yang kita tempuh bisa berbeda dari yang kita bayangkan—dan itu tidak apa-apa.

Mungkin makna sejati dari cita-cita adalah keberanian untuk terus bermakna, di manapun kita berdiri.